Ike-Suti ma Panbuat
Ike, Suti ma Panbuat
Pengantar
Tiga
kata pada judul tulisan ini sesungguhnya merupakan ungkapan metafora yang sudah
terlupakan, punah ditelan zaman yang makin maju. Semangatnya masih membara di
tengah-tengah masyarakat adat Amarasi Raya (Pah Amarasi). Masyarakat adat
Amarasi Raya mengubah istilah ini dengan kata berbahasa Melayu Kupang yang
sesungguhnya diadopsi dari etnis tetangganya, antaran.
Dalam
Ike, Suti ma Panbuat, bukanlah semata-mata antaran, lebih dari
sekedar antaran ketika sepasang mempelai telah resmi berada dalam ikatan
perkawinan/pernikahan sebagai suami-isteri. Antaran, tidak cukup
menggambarkan situasi emosional yang terkandung di dalamnya, walau patut
dijempoli bahwa dengan mengantar seorang gadis yang telah menjadi isteri
seorang pemuda terpilih, maka, keluarga pengantar (keluarga dari gadis) telah
mencurahkan isi hati mereka kepada anak gadis tercinta. Mereka melepaskannya
dari “gendongan” sehingga ia akan berada di “gendongan” keluarga pihak
suaminya.
Makna dan Implementasinya
Saya
menguraikan istilah dalam judul dengan memulainya dari belakang.
1. Panbuat
Para
muda di Amarasi Raya pada zaman mungkin paling mudah mengingat kata, panbuat.
Semoga demikian. Panbuat, sebentuk barang yang dipergunakan hanya
satu kali ketika seseorang telah menjadi jasad/jenazah. Panbuat, dari
masa ke masa mengalami perubahan wujud walau secara prinsip sama yaitu ada
bagian bawah yang dicungkil agar dapat meletakkan jenazah, dan bagian atas
untuk menutup jenazah. Sebelum para tukang kayu menciptakan panbuat
modern yang harganya melangit, orang membuatnya dengan membungkus/meletakkan
jenazah dengan cara berikut:
a) ‘naheek, tikar dan kain tenunan. Jenazah yang akan
dikuburkan dibungkus dengan tikar lalu dikafani dengan lilitan kain. Sebelum
orang mengenal kain tenun bermotif ragamnya, kain berwarna hitam, pilihan
terbaiknya. Lalu jenazah yang telah dikafani itu digotong paling kurang oleh 4
orang, maksimal 8 orang. Iringan peratap mengantarnya sampai bibir liang lahat.
Di sana ia dikuburkan.
b) ‘moup tukaf. Semua orang Amarasi Raya
mengetahui jenis tanaman yang satu ini, tuni atau tune. Pohon
gewang yang ditebang, diambil isinya untuk makanan (putak). Bagian pangkalnya
yang keras lambat laun isinya akan lapuk, kulitnya tetap kuat, dan karena itu
berlubang. Lalu bagian itulah yang diambil untuk dipreteli sebaik-baiknya agar
dapat meletakkan jenazah. Kualitasnya kurang baik, maka digunakanlah batang
lontar. Ujung batang lontar diambil dalam ukuran yang tepat untuk jenazah dapat
diletakkan. Batang gelondongan itu dibelah, satunya sebagai induk, satunya lagi
sebagai tutup. Isinya dikeluarkan lalu dipreteli hingga membentuk satu model
peti yang nampak apik. Di sana diletakkan jenazah.
c) Neke, Pohon kapuk. Batang pohon kapuk adalah yang paling banyak
digunakan setelah adanya tanaman ini. Batang gewang dan batang lontar terasa
amat berat apatah lagi bila mereka menempatkan sofi dalam jumlah banyak
ke dalam peti buatan itu. Proses pembuatan peti jenazah menggunakan batang
pohon kapuk sama dengan ujung batang lontar.
d) Papan kayu kelas tanpa kelas tertentu. Pada masa ini para tukang kayu telah ikut
andil membuat peti jenazah.
e) Papan kayu berkelas. Yang terakhir ini bahkan telah
dikomersilkan. Semakin mahal panbuat, semakin “bermartabat” keluarga
yang berduka. Apalagi bila panbuat itu disertai gambar-gambar tertentu.
Kaum Nasrani zaman ini bahkan membeli panbuat yang ada gambar Junjungan
mereka yang sedang merayakan Paskah. Lukisan karya Leonardo da Vinci yang
terkenal itu dipajang dimana-mana sebagai upaya “menebalkan” iman mereka. Entah
bila penempatan kopian lukisan itu di peti jenazah dengan maksud menebalkan
iman sang jenazah??
Terlepas
dari itu, dalam budaya masyarakat adat yang menganut garis keturunan ayah
(patriak), seorang perempuan yang dinikahi wajib “keluar” dari kaumnya untuk
bersatu dengan suaminya. Itulah sebabnya ada istilah-istilah kaos nono, sea’nono
dan saeb nono. Artinya, perempuan yang telah dinikahi itu menjadi
satu darah-daging, senafas-seroh dengan suaminya.
Oleh
karena itu, ketika seorang perempuan yang telah dinikahi itu “keluar” dari
kerabatnya, dari rumah orang tuanya, ada upacara sea’nono/kaos nono. Lalu
ketika ia tiba di rumah suaminya dan kerabat barunya, ia akan diterima dengan
upacara saeb nono. Dengan saeb nono, ia menjadi kerabat, bahkan
menjadi puan atas rumah tangganya bersama suaminya yang menjadi tuan.
Ketika
kerabat keluarga perempuan (gadis yang dinikahi) membuat upacara sea’nono, maka
pada saat itu nama keluarga gadis beralih posisi. Ia tidak hilang, tetapi
diposisikan di belakang.
Contoh:
Adalah
seorang gadis bernama Martha Nubatonis dan seorang pemuda bernama Markus Ora. Bila
gadis ini terpilih sebagai isteri dan dinikahi oleh Markus Ora, maka akan
terjadi nama Martha Nubatonis akan menjadi Martha Ora-Nubatonis.
Patut
diingat bahwa, hokum positif tidak mengizinkan penulisan nama seperti itu pada
perempuan yang telah menikah. Itu sah menurut hokum positif yang berlaku di
dalam negara. Tetapi, penulisan nama yang demikian itu sah dalam hokum adat
dimana anutan garis keturunan ayah (patriakh) memberlakukannya.
Panbuat,
menjadi lambang/symbol, bahwa perempuan yang telah dinikahi itu selama-lamanya
segala hak dan kewajibannya berada di tangan keluarga suaminya, hingga ia meninggal
dunia. Ketika ia meninggal dunia, jenazahnya diupacarakan menurut tata cara
yang berlaku di kalangan keluarga dan kerabat suaminya. Sementara kalangan
keluarga dan kerabat dari orang tuanya tetap mendapatkan kabar duka, bahkan mendapatkan
tempat terhormat untuk menjadi salah satu pemegang pemukul paku tutupan panbuat
(peti jenazah).
2.
Ike-Suti
Dua
kata dalam satu sebutan. Keduanya selalu berpasangan. Ike,
sebatang kayu berukuran Panjang kira-kira 20cm - 30 cm. Dibentuk sedemikian
rupa sehingga pada pangkalnya runcing agar dapat berputar seperti gasing ketika
dimainkan. Di ujungnya dibentuk sekecil mungkin sebagai tempat dimana jemari
memainkannya agar mudah berputar. Lalu, jemari yang trampil akan memainkannya
untuk mendapatkan benang dari bahan dasar kapas. Ike, akan
berputar pada alas/dasar satu benda. Ia tidak diputar/plintir di tanah. Ia diplintir
di dalam wadah yang disebut suti. Suti menjadi
alas yang biasanya diambil dari kulit kerang atau belahan batok kelapa.
Apa
maknanya dalam satu sebutan ike-suti ma panbuat?
Dalam
budaya mengurus perkawinan/pernikahan adat pada masyarakat adat Amarasi Raya,
ketika seorang perempuan yang telah dinikahi meninggalkan keluarganya, para
pengantar membawa sejumlah yang disebutkan dengan symbol itu, ike-suti ma
panbuat.
Ike-Suti menjadi
symbol ketrampilan, kemampuan, atau potensi yang dimiliki oleh sang perempuan
muda ketika berada di rumah orang tuanya. Semua itu dialihkan kepada keluarga
suaminya untuk terus dipelihara, bahkan perlu untuk dipupuk agar terjadi
peningkatan pada masa depan dalam keluarga baru mereka sebagai suatu pasangan
suami-isteri.
Dalam
tahun-tahun pengurusan perkawinan/pernikahan adat di Amarasi Raya, tuturan
tentang ike-suti ma panbuat telah hilang seiring membanjirnya budaya “kase”
yang diadopsi ke dalam budaya orang Amarasi Raya dengan
penyesuaian-penyesuaian.
Masa
ini, istilah-istilah seperti air susu ibu, tutup malu, dan antaran lebih
trend dan viral disbanding istilah yang dimiliki sendiri oleh masyarakat adat
Amarasi Raya. Istilah-istilah seperti: oe maputi’ – ai marara’, haot-fatis,
ripa’-oko’, dan ike-suti ma panbuat, telah sirna perlahan-lahan. Semua
itu diganti secara sadar oleh budaya “kase” yang telah “diterima” secara luas
oleh masyarakat adat Amarasi Raya, bahkan oleh para pini sepuh adat yang
memangku hukum adat itu sendiri.
Saya
tidak heran bila dalam budaya masyarakat adat Amarasi Raya terdapat
perbedaan-perbedaan tafsir dan implementasi atas istilah-istilah yang digunakan
oleh para pemangku adat di setiap desa. Antara desa yang satu dengan yang
lainnya selalu berbeda ketika duduk bersama dalam mengurus perkawinan/pernikahan
adat. Maka, tidak heran bila pemerintah “melakukan intervensi” pada hukum adat
perkawinan sebagaimana yang dilakukan oleh Pemerintah Kecamatan Amarasi Selatan
di bawah kepemimpinan Jackson M. Baok pada tahun 2019 yang lalu.
Lalu,
apakah intervensi itu melahirkan perubahan sikap dalam implementasinya?
Penutup
Suatu
upaya melestarikan tindak budaya dalam wujud hukum adat yang diimplementasikan
di kalangan masyarakat adat Amarasi Raya, perlu direvitalisasikan. Para
pemangku kepentingan, khususnya para pemangku adat tidak harus menggunakan
pendekatan hukum positif, misalnya dengan membuat Perdes, atau Perkades, atau
Keputusan Kepala Desa. Cukuplah untuk kembali kepada wujud orisinilnya dengan
dalam tuturan, sedangkan isinya dapat menyesuaikan dengan situasi yang sedang
tren pada zaman ini.
Terima
kasih. Semoga berkenan.
Koro’oto,
16 Januari 2020
Komentar
Posting Komentar