Nama Rayon dalam Bahasa khas di Jemaat Pniel Tefneno Koro'oto Klasis Amarasi Timur

Lidah api, sumber: https://www.istockphoto.com/id/



Nama Rayon dalam Bahasa khas di Jemaat Pniel Tefneno Koro'oto Klasis Amarasi Timur


Sambungan 2b

Kata berikut yang akan diuraikan dalam tulisan bersambung kali ini yakni Apinat. 

Aspek Linguistic dan Socio-Culture

Kata apinat berasal dari kata dasar, pina' artinya nyala dan pijar, mendapat awalan pembentuk kata benda /a/ dan akhiran /t/ menjadi apinat. Maka, kata apinat artinya yang menyala, yang berpijar.

Kepada pembaca agar menjadi jelas, kata benda (orang, pelaku) sebagai biasanya dibentuk dengan memberi prefiks /a/ dan sufiks /t/ atau /b/ pada kata suatu kata dasar yang bersifat kata kerja dan kata sifat. Perhatikan contoh-contoh diberikut ini:

  • moe' ~ artinya buat, lakukan, (MK ~ bekin, bikin), menjadi amo'et ~ orang yang berbuat ~ pelaku. Cermati Prefiks /a/ dan sufiks /t/ serta berpindah (metathesis) tempat/posisi lambang bunyi /'/ glotal.
  • uab ~ artinya bicara, omong, menjadi a'uab ~ orang yang berbicara ~ Pembicara
  • hake ~ artinya berdiri, menjadi ahaket ~ orang yang berdiri; akan berbeda dengan kata ahakeb artinya Pendiri.
  • sii ~ artinya nyanyi, menjadi asiit ~ penyanyi; kata siit sendiri sebagai kata benda artinya lagu.
  • dan lain-lain
Kita kembali ke apinat. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat mengharapkan adanya cahaya. Dalam pengetahuan umum ada paling kurang tiga sumber cahaya, yakni dari matahari, api, dan sumber cahaya hasil rekayasa atau kreasi manusia seperti listrik.

Kata-kata kerja yang dapat dibentuk dari kata pina' yakni disesuikan dengan subjek.
  • au upinab ~ saya membuat menjadi menyala, saya menyalakan...
  • ho mupinab ~ kau membuat menjadi menyala, kau menyalakan
  • in napinab ~ dia membuat menjadi menyala, dia menyalakan
  • hi mipinab ~ kamu membuat menjadi menyala, kamu menyalakan
  • hai mipinab ~ kami membuat menjadi menyala, kami menyalakan
  • hit tapinab ~ kami membuat menjadi menyala, kami menyalakan
  • sin napinab ~ mereka membuat menjadi menyala, mereka menyalakan 

Pada sumber-sumber cahaya ini manusia mengharapkan nyala atau pijarannya untuk menerangi alam semesta, atau yang paling dekat dengan kehidupan dimana manusia berada. Makhluk manusia tidak menghendaki suatu suasana gelap, sekalipun memang di satu sisi yang lain, "gelap" diperlukan, namun pada umumnya selagi orang masih bergerak dalam rutinitas, cahaya amat diperlukan.

Orang memerlukan cahaya bukan sekali saja, tetapi selamanya. Setiap kali ada cahaya, betapa terasa amat bahagia, bagai terlepas dari belenggu kegelapan. Orang tidak mampu mencapai sumber cahaya, nyala bolham lampu listrik, orang berani menyentuhnya, tetapi tidak menyentuh sumber nyalanya, sumber pijarnya. Bukankah akan mendapat celaka? Bukankah matahari belum pernah ada orang yang mencapainya?  Sumber cahaya diperlukan setiap saat, tetapi sumber itu tidak dapat dihampiri. 

Ketika orang hanya mengharapkan nyala atau pijarannya saja sudah merasa lega, puas, apalagi sampai ke hadiratnya, ke sumbernya. Cahaya itu begitu mulia. Berkilau menyilaukan mata, namun kebutuhan padanya tidak lekang dimakan waktu.

Bila seseorang, terutama pembesar: usif, raja, pemimpin-pemimpin dunia mengenakan busana kebesaran  mereka yang khas, terlihat begitu agung dan mulia. Manakala seorang raja atau presiden atau sebutan apa pun yang disebutkan kepada pemimpin tertinggi negara dan atau agama, bila pakaian kebesaran mereka kenakan, terlihat seperti bercahaya. Maka, mereka sesungguhnya sedang menebar kemuliaan sebagai pemimpin, usif, atau yang dihormati, diagungkan, disegani, bahkan ditakuti untuk didekati. 

Mereka yang berada dalam keagungan dan kemuliaan, biasanya akan menjadi suatu kehormatan dan kemuliaan pada masyarakat kelas bawah yang berhasil bertemu dengannya. Perhatikan bila Presiden mengajak berbicara masyarakat kelas bawah, apalagi bila hal itu berlangsung di istana negara. Bukankah, kemuliaan sang Presiden akan menyelubungi anggota masyarakat kecil yang hadir di istana negara?

Kemuliaan itu akan dikenang sepanjang masa baik oleh yang menerimanya secara langsung maupun oleh generasi berikutnya dari dalam rumah itu. Itulah makna pina' ~ nyala, pijar, kemuliaan dan keagungan. Pina' dalam arti kata yang harfiah saja terlihat biasa-biasa saja, namun dalam kiasan metaforis, maknanya kemuliaan dan keagungan. 

Suatu sumber cahaya memberi pijarannya dan mengkilapkan sehingga terlihat semarak, agung dan mulia. Kata lain dari cahaya yakni terang. Sumber cahaya menyala dan membuat area sekelilingnya menjadi terang, hingga yang tidak terlihat, tersembunyi menjadi terlihat.

Terang diperlukan untuk mengarahkan di jalan saat gelap malam. Orang pedesaan pada masa lampau menggunakan apa yang disebut a'nopo' dimana mereka mencincang batang bambu dalam ukuran tertentu dengan diameter yang dapat digenggam. Cincangan itu dibakar, menjadi sumber cahaya, sumber terang, yang dipakai untuk menghalau kegelapan, dan jalanan yang dilewati pada malam hari menjadi terang, terhindar dari terperosok di lubang, atau terantuk di batu dan lain-lain kecelakaan.

Zaman modern orang menggunakan senter dengan sumber cahaya batrei atau bahkan senter dengan sumber cahaya yang menyimpan energi dari listrik (hasil dari charger). Cahaya dan terang sangat memberi pengaruh pada manusia dan segala makhluk. 


Aspek Ajaran/Theology


Penulis tidak mengutip banyak ayat Alkitab untuk menjelaskan tentang Tuhan sebagai sumber cahaya, sumber terang, atau bahkan api.

Ingatlah bahwa pada mulanya ketika penciptaan dilakukan oleh TUHAN Allah melalui Firman-Nya, Ia menomorsatukan terang. Terang diperlukan untuk menghalau gelap  gulita yang menutupi samudera raya (Kej.1:1-5). Di sini, diperlukan sumber terang itu. Tuhan Allah sendiri menjadi sumbernya hanya dengan satu ucapan, "Jadilah Terang!"

Semua pembaca Alkitab pasti ingat cerita tentang pertemuan Musa dengan TUHAN Allah. TUHAN Allah hadir dalam wujud api di semak-semak. Musa melihatnya sebagai suatu visi yang dahsyat. Ia lalu mendekati sumber api itu. Aneh, ada nyala api dari sumbernya tetapi semak tidak terbakar (Kel.3). Tertulis di sana bagaimana percakapan Musa dengan TUHAN. Ketika Musa makin mendekat, justru ada suara yang menegurnya untuk menanggalkan kasutnya (sepatu), dikarenakan tempat dimana Musa berpijak itu kudus.

Api dari TUHAN sebagaimana yang ditunjukkan dalam Keluaran 3, menunjukkan kemuliaan TUHAN. Kita dapat mendekat kepada-Nya namun tidak terbakar. Semarak dan keagungan-Nya begitu rupa sehingga mengundang dan menarik Musa (manusia) mendekat. Ketika mendekat, tiada kehancuran, tetapi justru berkat dan penugasan.

Mari kita lihat bagaimana api menghidupkan pada masa Perjanjian Baru. Roh Kudus turun bagai lidah api (Kisah Para Rasul 2). Lidah api, dalam bahasa Amarasi-Kotos ai je nsakan ~ nyala yang melayang-layang. Pada hari kelima puluh sebagaimana tradisi keagamaan Yahudi mereka berkumpul, lalu pada saat itu Roh Kudus turun ke atas para murid, masuk ke dalam roh mereka (roh manusia yang takut), "membakar" roh manusia yang takut itu dengan lidah api. Api pemberi semangat, api yang membuat para murid (berubah menjadi rasul) yang pada mulanya tidak dianggap. Mereka "naik kelas" menjadi orang yang dianggap, orang dengan posisi tertentu, naik kelas menjadi orang mulia. Mulia di hadapan manusia dan Tuhan yang tidak kelihatan itu.

Pengetahuan tentang api sebagai sumber cahaya, terang yang memberi pijaran dan nyala pada dunia sekitar untuk menghalau kegelapan, bermetamorfosis menjadi sesuatu yang tak kasat mata, tetap menghidupkan.

Dalam ajaran atoni' Pah Meto' khusus tentang kehidupan di tungku. Rumah manusia digambarkan sebagai tungku. Kayu bakar (kayu kering) digambarkan sebagai insan/manusia yang masuk ke dalam tungku, dan api (dari percikan, nyala kecil, nyala besar, bara) menjadi "roh" yang menghidupkan kayu kering itu. Dari sana tungku (rumah) terlihat ada kehidupan. Ada daya dan energi yang keluar dari rumah. Daya dan energi itu dibawa keluar setelah penghuninya berlelah-lelah dala kerja keras (terbakar). Hasil kerja keras itu dinikmati orang berupa barang dan jasa. Ketika kematian menjemput, barang dan jasa menjadi kenangan. Kenangan itu menjadi "api" yang menghidupkan pada mereka yang tinggal hidup di dalam rumah dan sekelilingnya. Kenangan itu akan diceritakan, dan proses penceritaan itu sedang dalam upaya memuliakan insan/manusia, dan pada akhirnya mengarah kepada Tuhan Sang Khalik.

masih banyak yang dapat ditulis pada aspek ajaran. Sampai di sini dulu.


bersambung ke 2c


Umi Nii Baki-Koro'oto, 16 Maret 2023


Heronimus Bani (Aam Soo'i, Aam Meo) Umi Nii Baki Tuan ma Usin 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peniti, Bawang Putih, Genoak, antara Mitos, Pengetahuan dan Kepercayaan

Koroh natiik Maria

Beragam Istilah mengurus Perkawinan Adat di Amarasi Raya