ADAM DAN HAWA DI TAMAN AMARASI

Alkisah, Adam dan Hawa diciptakan Tuhan Allah dan ditempatkan di Taman Amarasi. Pada waktu itu Taman Amarasi sungguh amat luas dan indah. Di dalamnya ada pepohonan liar yang batang-batangnya sungguh amat besar, ada pula tanaman-tanaman yang bermanfaat sebagai makanan maupun dapat diramu untuk pengobatan dan jamu-jamu. Demikian pula untuk binatang-binatang. Di dalam taman itu Adam dan Hawa mendapatkan kenyamanan, ketentraman dan kebahagiaan. Mereka berteman baik dengan binatang-binatang liar, dari yang berkaki dua, berkaki empat, merayap, bersayap, yang tinggal di pohon maupun di dalam lobang-lobang gua koat.
Di taman Amarasi mengalir sungai-sungai Noeko’u, Noebi’ana’, Noehaen, Noekaesmuti’ dan lain-lain. Di sana ada pula Neofko’u dan Fatu’tuta’ yang dikenal kemudian hari dengan nama air terjun. Ada oefatu yang melambungkan nama. Ada Menifon sepotong daratan yang menjorok ke laut.
Menarik sekali taman ini karena ada berbagai nama yang menggunakan batu fatu sebagai alasnya. Seperti Fatu’sobe’, Fautfuaf, Fautsapu’, Faut Uran, Fatumnasi, Fatu tapeen pah, dan lain-lain. dari kejauhan orang dapat melihat Fautre’u sebuah gunung mati yang indah.
Taman ini ditempatkan Tuhan Allah di selatan pulau Timor berbatasan dengan lautan luas, sehingga Adam dan Hawa menyebut pantai dan laut di belakang taman itu dengan nama Teres alias Tais Ainaf.
Adam dan Hawa sungguh bahagia saat mereka mendapati diri mereka berada di Taman Amarasi. Burung-burung kakatua putih bertengger di dahan-dahan, dengan ditemani burung nuri. Rusa jantan dengan tanduk bercabang-cabang tidur di dekat si Piton. Kera-kera berteman ria dengan babi hutan, atau bahkan musang berteman baik dengan anjing. Ya, sungguh sangat menyenangkan. Bila Adam dan Hawa ingin makan daging rusa, mereka menuju ke Sismeni’ atau ke Menifon. Mereka tidak merepotkan diri. Mereka melakukan sujud syukur dan kemudian mengambil seekor anak rusa yang empuk dagingnya, diolah sehingga disantap dengan nikmatnya dan penuh rasa syukur kepada Tuhan yang menempatkan mereka di dalam taman itu. Mereka tidak mengambil setiap hari, karena akan habis, mengingat rusa-rusa itu tidak beranak setiap hari.
Bila Adam dan Hawa ingin menikmati kesegaran udara, mereka cukup naik ke bukit Sismeni’, hawa sejuk akan mengalir ke arah mereka. Atau cukup berteduh sejenak di bawah pohon cendana. Ketika angin bertiup, mereka bukan saja menghirup udara segar tetapi ssekaligus wangi aroma cendana. Mereka tidak perlu repot-repot menggali akar cendana agar mendapatkan aromanya. Ya! Tuhan menciptakan Taman Amarasi dengan keindahan yang tidada taranya. Dan, bila Adam dan Hawa ingin memandang sejauh-jauhnya kepada seluruh taman Amarasi, mereka menuju Fatu tapeen pah. Dari atas Fatu tapeen pah mereka memandang sejauh mata memandang menikmati pemandangan alam yang indah buatan Tuhan yang disembah Adam dan Hawa.
Tugas Adam memberi nama pada binatang dan pepohonan bahkan pada bebatuan pun Adam dan Hawa harus memberi nama. Setelah binantang-binatang dinamakan seperti ruus, kauna’ dalam segala jenisnya termasuk riuksaen, fafi,  kero, koro dalam segala jenisnya dari yang terkecil ktiris hingga yang besar seperti teem fafi. Atau burung-burung malam yang suaranya melengking seperti kelelawar, bka’u yang beragam jenis dan srigunting baos yang di kemudian hari ditakuti banyak orang karena diduga dipakai orang untuk mencelakakan, dan burung hantu, kuturu’u yang juga pada masa ini ditakuti karena dianggap menghantui orang pada malam hari serta membawa tanda akan adanya kematian.
Semua jenis  pepohonan satu persatu di dalam taman itu diberi nama oleh Adam, karena Tuhan memerintahkan agar ia memberi nama pula pada mereka. Adam memberi nama pada pohon-pohon yang bernilai ekonomi tinggi, seperti hau meni’ cendana yang berbau harum foo meni’, ia berada di urutan utama, disusul hau matani’ kayu merah, besak kabesak, krea kola, rete taduk, neke kapuk, dan masih banyak lagi. Pepohonan ini masuk daftar harga tinggi/mahal. Adam memberitahukan kepada Hawa kelak mereka akan memelihara pepohonan yang demikian itu hingga anak cucu mereka dapat melihat dan memanfaatkan bagi kepentingan mereka. Tetapi, buru-buru Adam memberi catatan peringatan pada Hawa bahwa pohon-pohon ini tidak boleh ditebang secara sembarangan karena, mereka tumbuh atas kehendak Tuhan. Adam tidak menanam, Hawapun demikian, tugasnya memelihara dengan hak mengambil yang terbatas dan bertanggung jawab untuk menanam kembali.
Betapa bahagianya Adam dan Hawa menikmati Taman Amarasi pada masa penciptaan. Mereka memelihara dan memanfaatkan taman itu dengan senang hati. Kesukaan dan sukacita tiada terhingga. Hujan turun tepat pada waktunya, musim perladangan berlangsung normal. Ternak-ternak bunting dan beranak secara alamiah. Sapi betina kawin dengan sapi jantan secara normal dan mendapatkan anak sapi yang lahir secara normal. Begitu pula kuda betina dan jantannya.
Sebagai sepasang suami-isteri, Adam dan Hawa berumah tangga dan mempunyai sejumlah anak. Anak-anak Adam dan Hawa mengambil suami-isteri dengan memanfaatkan budaya fee-ranan – moen ranan. Mereka menyebar ke berbagai penjuru Amarasi. Mereka menggunakan bahasa yang satu yaitu bahasa Amarasi dalam tiga dialek, yaitu kotos, ro’is dan ro’is tais nonof.
Berbilang tahun sudah Adam dan Hawa menikmati taman Amarasi. Selama Adama dan Hawa  hidup, taman ini terawat, terpelihara dengan baik. Siklus alam berlangsung sangat alamiah. Sebagai manusia Adam dan Hawa akhirnya ada batas kehidupannya. Dalam keyakinan bahwa kematian adalah pintu untuk bertemu kembali dengan Tuhan yang menciptakan mereka, akhirnya kematian diterima oleh Adam dan Hawa. Keduanya meninggalkan dunia dan keturunan mereka menguburkan dengan isak tangis, kurut-kaet.
Keturunan Adam dan Hawa di Taman Amarasi kini hidup tanpa leluhur mereka Adam dan Hawa. Keturunan ini kemudian mendirikan negeri yang dipimpin oleh para usif yang disebut uispah. Para uispah memegang teguh aturan melestarikan taman Amarasi. Para uispah memaksa masyarakat untuk menanam pepohonan sebagai bentuk tanggung jawab memelihara taman peninggalan leluhur mereka Adam dan Hawa. Penanaman jati, kemiri, kelapa, pisang dan berbagai tanaman perdagangan digalakkan. Untuk menggiatkan pemeliharaan ternak sapi secara tetap yang disebut paron, para uispah menggalakkan program lamtoronisasi dan penanaman pisang di po’on-po’on mamar.
Ruus rusa, kakatua putih koor kae muti’ dan binatang-binatang hutan dilarang keras untuk dijamah. Demikian pula pepohonan bernilai ekonomi tinggi dilarang keras untuk ditebang.  Bahkan pada masyarakat keturunan Adam dan Hawa diperkenalkan istilah nais nuni yang berdampak pada keseganan mereka untuk masuk dan merusak alam Amarasi. Orang diperkenankan menebang hanya untuk kepentingan membangun rumah umi, balai pemerintahan ropo prenat dan istana sonaf, dan tidak untuk kepentingan perdagangan.
Para uispah membagi daerah taman menjadi daerah pertanian dan peternakan, dengan menyisakan daerah penyangga air yang disebut nais nuni. Kepada keturunan Adam dan Hawa yang semakin banyak diatur agar menempati daerah-daerah pesisir pantai. Ada yang membujur ke arah utara menuju ke timur. Ada pula yang membentang di tengah. Semuanya membuka lahan-lahan dan membentuk komunitas genealogis berdasarkan keturunan yang sama nono dan nonot. Perkampungan-perkampungan untuk pemukiman yang dibentuk dan dibangun mereka sebut kuan.
Seluruh perjalanan hidup keturunan Adam dan Hawa berlangsung aman, nyaman dan damai. Mereka mendengar suara para uispah untuk membuka isolasi kuan-kuan dengan membuka jalur jalan dari barat ke timur dan utara ke selatan. keberhasilan membuka isolasi ini menyebabkan keturunan Adam dan Hawa melihat dunia luar dengan leluasa. Mereka tidak perlu lagi pergi ke Fatu tapeen pah. Dunia luar pun masuk ke taman Amarasi.
Suatu hari keturunan Adam dan Hawa yang sudah terbiasa dengan dunia luar kemudian menerima budaya dari dunia luar. Budaya itu disebut kase ~ asing. Mereka mulai menggunakan kaan kase ~ nama asing. Contoh-ccontohnya seperti nai’ Seka’ menjadi Zaka’. Nai’ Kono menjadi Kornelis. Bi Sokan menjadi Sakinah, bi Natu menjadi Normalina, nai’Tefa’ menjadi Theofilis dan lain-lain. mereka bangga dengan nama-nama asing ini. Nama asli sebagai budaya sendiri dianggap kaan nitu, nama setan, yang berarti para leluhur mereka adalah setan-setan.
Dunia dagang diterima pula oleh keturunan Adam dan Hawa. Mereka mulai melakukan tukar menukar barang. Piring porselin bergambar naga diambil dan ditukarkan dengan koor kae muti’ kakatua putih. Guci ditukar dengan haumeni’ cendana. Setan Lusifer membawa pengaruh dunia kase kepada keturunan Adam dan Hawa dan menggoda mereka. Lusifer berbisik-bisik pada beberapa orang yang sering melawan para uispah dan diam-diam merusak alam Amarasi. Orang-orang ini disapa ramah oleh Lusifer dengan kata-kata, “Kamu tidak usah takut pada uispah. Nais nuni dapat kamu masuki untuk mengambil cendana, kakatua, dan lain-lain. Itu semua diwariskan oleh leluhur Adam dan Hawa bukan untuk uispah tetapi untuk kamu semua. Masakan uispah menikmati sendiri bersama kusi-‘pika, poni-nepat konco-konconya?”
Lusifer menawarkan cara mengawinkan sapi yang berbeda dari perkawinan sapi yang normal. Sapi-sapi betina kini dipaksa kawin dengan pejantannya yaitu tangan manusia. Kelak anak sapi lahir harus ditolong tangan manusia yang mengawininya. Sapinya menangis, pemiliknya terbahak-bahak bahagia.
Tergoda dengan bujuk rayu Lusifer, orang-orang ini masuk ke nais nuni dan mulai menebang cendana secara sembunyi-sembunyi. Mereka mengambil kakatua putih, menjerat koor tuin nuri hijau, menangkap teme, menembak faif fui celeng dan menembak kero kode monyet.  Nais nuni mulai bopeng. Fatu tapeen pah sedih, sismeni’ menangis meraung-raung siang malam karena mereka menggunakan kapak fani, kombong ‘he’o, dan meningkat menjadi gergaji mesin sensor. Sekalipun sismeni’ menangis, orang-orang yang telah tergoda bujuk rayu Lusifer terus tertawa terbahak-bahak dan terpingkal-pingkal membawa hasil dari nais nuni keluar untuk mendapatkan keuntungan sendiri.
Bosan membakar ladang yang penuh semak, Lusifer menawarkan cara baru. Lusifer mengatakan, “Dengan rundup kamu akan cepat membersihkan ladangmu. Kalau kamu membakar, na’nunu’ pasti kelelahan. Baiklah pakai rundup dan teman-teman jenis racun pembasmi semak. Kamu pasti pulang ke rumah dengan senang hati. Tidak merepotkan diri untuk mempersiapkan parang tofa, cukup semprot maka matilah semak.”
Beramai-ramai orang mengikuti petunjuk bujuk rayu Lusifer. Anak-anak muda ditawari Lusifer untuk keluar kampung. Menyenangkan karena kemudian mereka kembali membawa roit duit untuk membangun uim fatu berlantai kilap porselin beratapkan seng pengganti ilalang dan daun gewang. Setelah diberi seng panas menyengat, lalu ditutuplah dengan gips peredam panas di dalam ruangan. Semuanya menambah beban anggaran. Tetapi dilakoni kaum keturunan ini.
Kuda-kuda yang dulu selain untuk alat transportasi, dan olahraga pacuan kuda, kini dimuseumkan. Mereka menggantinya dengan kuda besi bermesin dan beroda. Sekalipun mengeluh karena setiap kali pasti terancam bahaya di jalanan, tetap orang memanfaatkan kuda besi bermesin karena efektif dalam pemanfaatan waktu. Pergi-pulang ke tempat kerja di ladang rene dan lain-lain cukuplah menendang sekali mesin berbunyi bbrrrrr.... lalu berangkatlah pemiliknya.
Sepulangnya ia duduk merenung karena kemacetan arus lalu lintas, bahan bakar mesin yang akan dibutuhkan lagi pada hari besok, mengganti onderdil yang aus, biaya yang harus dikeluarkan kepada para montir dan lain-lain. sekalipun susah, tetaplah dilakoni. Berkendara mesin sudah menjadi budaya pada kaum ini.
Kesadaran untuk memelihara taman Amarasi tidak lagi dimiliki oleh keturunan Adam dan Hawa. Sekalipun ditempatkan petugas-petugas jagawana, tetapi para petugas jagawana justru tak mampu membendung arus. Para perampok dan penjarah nais nuni tertawa mengejek para jagawana dengan kata-kata, “jagawana, jagawana. Kamu tak jago menjaga. Mana jagomu?”
Akhirnya nais nuni hancur. Harta di dalam nais nuni seperti ruus rusa, haumeni’ cendana, koor kae muti’ kakatua putih, dan lain-lain punah sudah. Sismeni’ terus menangis dalam masa tuanya. Para uispah tak berdaya lagi. Sekalipun uispah baru diciptakan dengan membangun dinasti Amarasi Barat, Amarasi Timur, Amarasi, dan Amarasi Selatan, tokh salah satu uispah pernah ditahan polisi karena dianggap merusak nais nuni.
Jika uispah yang dianggap mampu memelihara taman Amarasi berubah menjadi tersangka, maka too masyarakat lebih brutal lagi berdasarkan bujuk rayu Lusifer. Keuntungan duit di depan mata tak hendak diabaikan begitu saja oleh para perampok dan penjarah hasil hutan nais nuni sismeni’.
Kini Taman Amarasi warisan leluhur Adam dan Hawa hancur namun diterima dengan nama Herman Johannes pahlawan dari selatan negeri besar. Kementerian Kehutanan di negeri besar mengurus nais nuni. Mereka memfungsikannya untuk macam-macam hal, seperti sebagai daerah tangkapan air, hutan wisata, taman pendidikan kehutanan dan entah pada masa yang akan datang menjadi apa lagi.
Adam dan Hawa di sorga melihat keturunannya berlelah-lelah siang-malam. Mereka yang berada di awal milenium ketiga ini mengeluh karena pada siang hari nai’ Manas menyengat kulit. Bi Nope tak sudi memberi perlindungan di siang hari. Bi Nope tak rela menurunkan hujan. Nai’ Kfuu  muncul sambil menyembunyikan rahasia musim dan angin sehingga keturunan Adam dan Hawa sulit membaca musim dan arah angin. Senang sekali bila bi Funan pada malam hari terang benderang tanpa bi Nope mendampingi. Sekalipun sering ada yang mengeluh karena ketika pagi tiba bi Pinis tak sudi memberi tanda-tanda basah yang banyak. Tanah tak rela menumbuhkan tunas-tunas hijau pemberi oksigen dan yang berfungsi mengambil karbondioksida produksi manusia lewat asap mesin-mesin pabrik dan lalulintas.
Dampak dari semua ini, para pemilik sumber air oematan tak merelakan air untuk diambil secara kekeluargaan. Orang harus membayar untuk mendapatkan air. Ladang rene dan mamar po’on runtuh dimana-mana sehingga menimbulkan jurang kefamnanu’ muti’-muti’ dan menyisakan kelaparan, sehingga muncul istilah rawan pangan. Oh... sedihnya bila taman peninggalan Adam dan Hawa tidak dipelihara.
Para uispah dan pemimpin di tingkat bawah seperti ‘nakaf harus berlari-lari anjing di belakang keser untuk mengejar raskin, beras miskin dan beras rawan pangan, berawan-angan. Ketika tiba di sonaf istana keser mereka menadahkan tangan ke atas meminta-minta demi masyarakat dan kaum yang dipimpinnya. Syarat untuk mendapatkan berawan-angan harus ada kerja gotong royong membangun kampung, desa. Bukti foto-foto harus ada. Tanda tangan bahwa akan terima berawan-angan sudah harus dilakukan sebelum menerimanya. Jadi belum terima pun sudah harus teken. Begitu pula raskin, sudah harus bayar sebelum terima. Membeli angin mendapat raskin. Nah, itulah akibat dari merusak taman dan alam warisan leluhur.
Kekeringan budi dan kemerosotan akhlak dari keturunan Adam dan Hawa di Amarasi dan mereka yang berada di luar Amarasi telah mendepak lebih dalam diri sendiri ke dalam kemiskinan material, etika sosial dan lingkungan. Menyedihkan karena pasti Adam dan Hawa sedang menangis melihat keturunannya harus bergelut dan bergulat dengan semua itu.
Kini kaum ini bergumul lagi dengan faut metan mangan. Kisah-kisah sukses faut metan mangan memberi harapan baru. Bumi digerus kaum keturunan untuk mengambil isi kandungannya berupa faut metan yang sebenarnya belum boleh diambil karena keser masih mengatur apa yang disebut regulasi aturan dan mencari rekanan patner kerja yang bersedia membuka pabrik. Tapi, kaum keturunan ular beludak ini sudah kepalang tanggung mengayun tangan ke tanah.
Tanah aufmetan yang sedang hamil fautmetan mangan. Yah... entah sampai kapan kesadaran naskeek datang? Kitong tunggu saa... . Selamat menikmati masa berbagai krisis. Semoga kesadaran naskeek datang dan tinggal di dalam hati kaum keturunan Adam dan Hawa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peniti, Bawang Putih, Genoak, antara Mitos, Pengetahuan dan Kepercayaan

Koroh natiik Maria

Beragam Istilah mengurus Perkawinan Adat di Amarasi Raya