Adakah Anak Menangis Untuk Ayahnya?
Adakah Anak Menangis untuk Ayahnya?
Berhubung mata ini tidak mau bekerja sama rupanya dengan tubuh besar sekalipun sudah tengah malam, mata ini tetap menyala. Jadi, saya meluncur ke aplikasi youtube dengan kata kunci yang tak tentu, saya tulis sadly movies. Saya temukan satu judul, DAD.
Saya mengklik pada film berdurasi 8:03 menit itu. Ternyata film dokumenter dimana Eka Gustiwana menjadi produsernya. Kisah yang difilmkan ini rasanya sederhana dengan mengeksplorasi kehidupan keluarga sederhana pula. Seorang ayah sebagai penarik becak motor di satu kota besar. Ia mempunyai seorang gadis kecil yang sudah duduk di bangku sekolah dasar. Penghasilan sang ayah yang tidak seberapa dari menarik becak motor ini menyebabkan sang anak menjadi bulan-bulanan teman-temannya di sekolah.
Hal ini terus berlangsung sampai ia memasuki masa remaja dan duduk di bangku sekolah menengah atas. Sikap hedonis melanda kaum remaja. Gaya hidup menjadi tuntutan untuk penampilan. Pakaian, sepatu, tas, handphone, sepeda motor, semuanya mesti yang bermerk. Jika harus menikmati makanan di luar rumah, bukan warung pinggir jalan tempatnya, namun yang mewah (resto, kafe dan sejenisnya).
Gadis ini terus mendapat buli dari teman-temannya. Ia protes pada ayahnya agar ayahnya dapat membelikan semua keperluan yang memberi padanya kesempatan untuk sejajar dengan teman-temannya yang rerata memegang smartphone, bersepda motor, pakaian yang mengikuti mode, dan lain-lain.
Sang ayah yang mendapatkan tekanan bekerja keras. Ia menabung untuk paling tidak tiga tahun selama anak gadisnya berada di sekolah menengah atas. Anak gadisnya terus-menerus mendesak. Lalu, diam-diam dengan menggunakan handphone bersenter dan kamera seadanya, sang ayah belajar pula di rental komputer. Sang ayah mulai mengetahui cara menggunakan dunia maya. Ia mulai membeli secara online barang-barang keperluan anak gadisnya itu.
Perlahan namun ada kepastian. Anak gadisnya mulai menikmati hasil kerja keras ayahnya. Lalu, terjadilah suatu pagi, dalam perjalanan ke sekolah, gadis ini menumpang becak motor. Di jalan ada kerumunan orang melihat kecelakaan lalu lintas. Ia segera turun untuk turut menyaksikan korban lakalantas itu. Ternyata yang tertabrak, ayahnya.
Ia memeluk ayahnya. Menangis sejadi-jadinya.
Singkat cerita, setelah upacara penguburan berakhir, sang anak menata rumah dengan barang-barang yang sudah dibelikan almarhum ayahnya. Ada televisi, kulkas, dan barang-barang keperluan rumah tangga lainnya. Ia menemukan pula surat tanda nomor kendaraan dan kunci kontak sepeda motor yang ditinggalkan ayahnya dan satu catatan surat peninggalan ayahnya yang memberikan ucapan selamat ulang tahun dan catatan tentang pemberiannya. Tidak lupa sang ayah memohon maaf atas kekurangannya sebagai ayah.
Membaca/menonton film dokumenter itu, saya teringat kisah seorang anak dalam alkitab (Lukas 15) dimana seorang anak menghabiskan kekayaan ayahnya di negeri orang. Ia bergaya hidup mewah selama kekayaan itu ada. Lalu, tibalah suatu waktu dimana ia kehabisan seluruh kekayaan yang diberikan ayahnya kepadanya. Ia harus menjadi penjaga babi agar sekedar mendapatkan makanan pengganjal perutnya. Ketika itulah ia teringat akan ayahnya. Lalu, ia memutuskan untuk pulang dan memohon ampun padanya.
Kisah dalam alkitab ini terasa bertolak belakang dengan kisah yang baru saja saya kisahkan dari film dokumenter yang saya tonton. Akan tetapi, ada kesamaan di dalamnya, yaitu tentang ayah. Ayah yang mengasihi anak-anaknya.
Seorang ayah berhati murni kasih, manalah mungkin hendak melihat anak-anaknya mengalami kesusahan hidup. Ia akan bekerja keras dengan memanfaatkan seluruh ketrampilan/keahlian yang ada padanya. Ia akan berusaha memenuhi apapun kebutuhan rumah tangganya serta kebutuhan-kebutuhan anak-anaknya dalam skala prioritas masing-masing.
Anak, tentulah boleh meminta sesuatu pada ayah. Mintalah dengan melihat kemampuan yang ada pada orang tua. Bila meminta sesuatu yang tidak mungkin dapat ditunaikan orang tua dalam waktu singkat, apatalah lagi bila kebutuhan itu barang yang harus dibeli dengan harga tinggi/mahal, siapakah anak yang tega melihat ayahnya mengalami depresi karena tidak mampu memenuhi kebutuhan anaknya?
Bila seorang ayah sakit, lalu pada akhirnya meninggal dunia, apa yang akan dilakukan anak yang belum mendapatkan seluruh keinginannya?
Marah?
Kecewa?
Menyalahkan diri yang dilahirkan dalam keluarga sederhana nan miskin?
atau
Menangis?
Lalu sesudahnya mulai menata diri untuk hidup lebih bijaksana.
Chiang Mai, 30 Juli 2019
Komentar
Posting Komentar