Bahasa Berbeda bukan Halangan Belajar Bersama (1)

Bahasa Berbeda bukan Halangan Belajar Bersama



Ini sebahagian cerita pengalaman belajar bersama rekan-rekan praktisi Bahasa Daerah dari empat negara: Thailand, Indonesia, Myanmar dan Pakistan. Ada 30 orang peserta workshop Etno Arts yang diadakan oleh Payap University, 22 Juli - 2 Agustus 2019. Workshop dihelat di CH Hotel Chiang Mai, Thailand. Bila menelisik para peserta dari sudut pandang bahasa yang dipergunakan, terdapat empat bahasa nasional di dalamnya. Tetapi, bila harus menelisik lebih dalam untuk mengetahui bahasa daerah yang dipakai oleh setiap grup yang datang, oh ... ada banyak perbedaan pada bahasa daerah yang dipakai.

Sebutlah tim dari Indonesia yang datang dari Kupang (UBB GMIT Kupang) dan Pakistan. Dari Kupang ada lima peserta; dua orang menggunakan Bahasa Daerah Amarasi, satu orang berbahasa Dhao, satu orang berbahasa Teiwa, dan satu orang lagi berbahasa Melayu Kupang. Dari Pakistan peserta hanya dua orang, dan masing-masing berbahasa daerah sendiri. Keduanya nampak tidak pernah duduk bersama untuk mengerjakan tugas kelompok, sekalipun keduanya dari satu negara. Sementara tim dari UBB GMIT Kupang, masih dapat belajar/bekerja bersama oleh karena ada satu bahasa pengantar, Bahasa Melayu Kupang.

Dua kelompok lainnya yaitu dari Thailand dan Myanmar, mereka berasal dari komunitas pengguna bahasa yang saling berbeda pula. Jadi selain bahasa nasional, mereka pun berbahasa daerah. Lalu, para instruktur, harus berbahasa Inggris. Jadi Bahasa Inggris menjadi bahasa yang menjembatani semua peserta, sekalipun peserta belum tentuk paham keseluruhan apa yang disampaikan instruktur (satu di antaranya saya yang menulis artikel ini. Saya sebut diri speechless, haha...).

Pengalaman saya dalam beberapa konferensi internasional yang pernah saya hadiri baik sebagai peserta (partisipan) maupun pemateri, tuntutan berkomunikasi dalam satu bahasa yang diterima semua peserta tidak dapat ditawar. Demikianlah adanya kegiatan-kegiatan ilmiah bertaraf internasional. Sekalipun ada peserta yang speechless, paling tidak harus dapat mengikuti alur materi yang disampaikan, memahami dan melakukan sesuatu apabila diperlukan di dalamnya.

Para peserta workshop Ethno Arts, telah bekerja keras sejak hari pertama tanggal 22 Juli lalu. Banyak materi yang telah disampaikan dengan bahasa standar (Bahasa Inggris). Secara ringkas, materi-materi itu kami rangkum pada hari pertama minggu kedua ketika evaluasi lisan dilakukan para instruktur:

  • Main Purpose, terdiri dari: big pictures, sequence pictures, listening stories, culture calender, poem
  • Theories, terdiri dari: whole brain (Roger Sperry), Bloom Taxonomy (Benjamin Bloom), Social Environment, Known to Unknown, dan ages and stages.
  • Skills, terdiri dari: drawing, checking dan coloring

Pada hari pertama minggu kedua setelah evaluasi lisan, para peserta diminta mulai menggambar. Kepada peserta diberikan lembaran kertas dan perlengkapan gambar. Tugas peserta adalah menggambar busy pictures. Saya salah satu di antara kira-kira tiga atau empat orang yang tidak dapat melakukan tugas ini. Pada tim kami ada satu anggota yang diberi tugas untuk itu berhubung ia biasanya melakukan editing pictures untuk produk buku-buku cerita bergambar di UBB GMIT Kupang.

Kami yang lain, seakan tanpa beban untuk melakukan apapun. Tidak! Saya menulis cerita dan puisi bersanjak (pantun). Anggota tim yang lain pun melakukan hal yang kira-kira dapat diterima oleh semua anggota dan para instruktur, seperti menulis cerita, menulis dan mencipta lagu atau berlatih menggambar.

Setelah dua cerita dapat saya buat, ada kesempatan berkonsultasi dengan instruktur. Kami melakukannya di ruang berbeda. Pantun-pantun yang saya buat pun diperiksa oleh instruktur yang lain.. Ada teman yang membawa dan menjelaskannya pada sang instruktur. Saya dan seorang teman menjelaskan cerita yang dibuat yang (katanya) harus memenuhi unsur-unsur: characters, conditions, climacs, dan endingnya.

Kami menjelaskan dua cerita sederhana yang ditulis dalam Bahasa Melayu Kupang. Setelah diadakan tanya-jawab, disarankan untuk penambahan seperlunya. Catatan menarik: saya baru mengetahui jika instruktur belum mempunyai pengetahuan tentang perkawinan serumah pada tanaman (saya ambilkan contoh bunga jagung). Bagi sang instruktur, itu mujizat. 

Cerita lain dibacakan pula oleh seorang peserta dari Pakistan dan seorang lagi dari Myanmar. Di ruangan lain, ada checking untuk pantun-pantun yang saya susun. Betapa terkejutnya instruktur dengan mainan kata yang disusun. 

Satu hal lagi yang menjadikan kami merasa ribet yaitu menggambar. Mereka yang dapat melakukannya sudah lancar jaya. Sementara saya masih mencari cara yang tepat untuk memulainya. Akhirnya saya temukan cara yaitu bertanya pada aplikasi Youtube.

Lahirlah beberapa gambar yang disempurnakan oleh rekan setim.

Selasa sore, 30 Juli 2019, ketika kelas workshop berakhir untuk istirahat, telah terkumpul gambar-gambar apa yang disebut busy pictures. Semua itu berkat kerja keras dan kerja sama tim yang sekalipun berbeda bahasa, namun dapat berkomunikasi baik dengan bahasa tubuh maupun dengan bahasa pengantar internasional yang medok.

Chiang Mai, 30 Juli 2019

Heronimus Bani, tukang tulis sonde jelas. Haha...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peniti, Bawang Putih, Genoak, antara Mitos, Pengetahuan dan Kepercayaan

Koroh natiik Maria

Beragam Istilah mengurus Perkawinan Adat di Amarasi Raya