Tak Terduga Sebelumnya
Tak Terduga Sebelumnya
(seri ke-2, Adakah anak menangis untuk Ayahnya?)
Kata orang, "sudah suratan takdir!".
Yang lain mengatakan, "Sudah waktunya!"
Lalu kaum berTuhan berseru nyaring, "Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil. Terpujilah Nama-Nya!"
Saya sungguh tak menduga, bahwa kakak Eliaser Ora akan meninggal di saat saya tidak berada di tempat. Sepanjang malam (Senin, 29/07/2019) hingga pagi (Selasa, 30/07/2019) saya sama sekali tidak dapat menutup mata yang mestinya harus tidur untuk mendapatkan kesegaran tubuh. Lalu, saya menulis artikel pertama, Adakah Anak Menangis Untuk Ayahnya?
Ketika hari belajar (workshop) berlangsung, sampai istirahat untuk menikmati minum pagi, saya merasa ada yang kurang pada sayaa setelah minum kopi. Tubuh ini terasa tak hendak bersahabat. Saya terus memaksakannya. Sesudah makan siang, terus mengikuti materi workshop sampai rehat kedua. Pada saat rehat kedua, saya benar-benar tidak ingin minum bahkan teh pun tidak sudi. Saya minum 2 gelas air jernih saja.
Singkat cerita, sore hari sesudah waktu reguler workshop berakhir untuk hari ini, saya berbaring. Sebelumnya saya mencoba menghubungi anak-anak via vidio call. Tidak ada yang merespon. Begitu pula dengan kakak Ida. Saya tertidur. Wifi di hotel terganggu. Saya bangun sekitar pukul tujuh malam. Kami (saya dan pak Amos) pergi memberi makanan untuk makan malam kami berdua. Saat masuk ke hotel kami masih minta kata kunci baru wifi. Setibanya di kamar hotel kami segera menikmati makanan.
Sementara makan, saya sempat mengisi kata kunci baru untuk menyambung wifi. Lalu, masuklah kabar di grup WhatsApp keluarga. Telah meninggal dunia bapak Eliaser Ora Nakmanas. Saya membuang nasi ke dalam kotak sampah. Pecahlan tangis.
Saya segera mencoba vidio call dengan anak-anak di rumah untuk mengetahui situasi terkini. Saya minta untuk segera mendekatkan handphone ke jenazah kakak. Kutangisi kakak sejadi-jadinya.
Kini, seorang kakak telah tiada. Saya sendiri hanya melihat jenazahya lewat layar monitor smartphone. Saya tidak dapat mengikuti seluruh prosesi persiapan hingga upacara subat. Saya menangisi kepergian kakak seperti juga menangisi kepergian ayah pada lima belas April dua ribu sembilan belas lalu.
"Kakak! Kakak!" Terlepaslah dan terbebaslah sudah dari derita fisikmu. Stroke telah menyiksamu bertahun sudah. Jika hari ini kami menangis hingga meratap, kami kehilangan kakak. Kami kehilangan salah satu sosok yang mewakili ayah/papa setelah ia disubatkan. Saya tak sempat mendengar suara terakhir kakak. Beruntunglah, sebelum ke Thailand, saya sempat duduk bersama dalam ibadah pagi di rumah kakak bersama jemaat dalam Rayon pelayanan. Indah. Indahnya kebersamaan itu. Nikmatnya hidup sebagai saudara, kakak dan adik, orang tua dan anak.
Kakak, anak-anak dan para menantu serta cucu menangis dan meratap. Mereka bukanlah anak-anak dari rahim isterimu. Tetapi, kau telah menjadi ayah untuk mereka. Mereka akan menangisimu, mengingat nasihat dan kerja kerasmu untuk mereka.
Kakak... Tidurlah dalam damai yang disediakan Tuanmu, Junjunganmu, Allah dan Tuhan yang kita sama sembah, Yesus Kristus.
Chiang Mai, 30 Juli 2019
Heronimus Bani
Ketika hari belajar (workshop) berlangsung, sampai istirahat untuk menikmati minum pagi, saya merasa ada yang kurang pada sayaa setelah minum kopi. Tubuh ini terasa tak hendak bersahabat. Saya terus memaksakannya. Sesudah makan siang, terus mengikuti materi workshop sampai rehat kedua. Pada saat rehat kedua, saya benar-benar tidak ingin minum bahkan teh pun tidak sudi. Saya minum 2 gelas air jernih saja.
Singkat cerita, sore hari sesudah waktu reguler workshop berakhir untuk hari ini, saya berbaring. Sebelumnya saya mencoba menghubungi anak-anak via vidio call. Tidak ada yang merespon. Begitu pula dengan kakak Ida. Saya tertidur. Wifi di hotel terganggu. Saya bangun sekitar pukul tujuh malam. Kami (saya dan pak Amos) pergi memberi makanan untuk makan malam kami berdua. Saat masuk ke hotel kami masih minta kata kunci baru wifi. Setibanya di kamar hotel kami segera menikmati makanan.
Sementara makan, saya sempat mengisi kata kunci baru untuk menyambung wifi. Lalu, masuklah kabar di grup WhatsApp keluarga. Telah meninggal dunia bapak Eliaser Ora Nakmanas. Saya membuang nasi ke dalam kotak sampah. Pecahlan tangis.
Saya segera mencoba vidio call dengan anak-anak di rumah untuk mengetahui situasi terkini. Saya minta untuk segera mendekatkan handphone ke jenazah kakak. Kutangisi kakak sejadi-jadinya.
Kini, seorang kakak telah tiada. Saya sendiri hanya melihat jenazahya lewat layar monitor smartphone. Saya tidak dapat mengikuti seluruh prosesi persiapan hingga upacara subat. Saya menangisi kepergian kakak seperti juga menangisi kepergian ayah pada lima belas April dua ribu sembilan belas lalu.
"Kakak! Kakak!" Terlepaslah dan terbebaslah sudah dari derita fisikmu. Stroke telah menyiksamu bertahun sudah. Jika hari ini kami menangis hingga meratap, kami kehilangan kakak. Kami kehilangan salah satu sosok yang mewakili ayah/papa setelah ia disubatkan. Saya tak sempat mendengar suara terakhir kakak. Beruntunglah, sebelum ke Thailand, saya sempat duduk bersama dalam ibadah pagi di rumah kakak bersama jemaat dalam Rayon pelayanan. Indah. Indahnya kebersamaan itu. Nikmatnya hidup sebagai saudara, kakak dan adik, orang tua dan anak.
Kakak, anak-anak dan para menantu serta cucu menangis dan meratap. Mereka bukanlah anak-anak dari rahim isterimu. Tetapi, kau telah menjadi ayah untuk mereka. Mereka akan menangisimu, mengingat nasihat dan kerja kerasmu untuk mereka.
Kakak... Tidurlah dalam damai yang disediakan Tuanmu, Junjunganmu, Allah dan Tuhan yang kita sama sembah, Yesus Kristus.
Chiang Mai, 30 Juli 2019
Heronimus Bani
Komentar
Posting Komentar